HEADLINE

KOMITMEN JOKOWI SOAL KESEHATAN REPRODUKSI DAN KESETARAAN GENDER DIPERTANYAKAN.



KUPANG :NTT .JEJAK HUKUM INDONESIA-com.  Presiden Jokowi telah mendeklarasikan visi dan misi untuk Pemerintahannya lima tahun ke depan pada 14 Juli 2019 di Sentul, Jawa Barat setelah dinyatakan secara resmi sebagai Presiden Terpilih oleh KPU.

Arahan Presiden yang disampaikan pada pidato deklarasi tersebut dituangkan dalam Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RT RPJMN) 2020-2024 yang disusun oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas). Dalam dokumen tersebut, Presiden berkomitmen untuk meningkatkan sumber daya manusia melalui perbaikan kualitas kesehatan masyarakat, salah satu diantaranya dengan menjamin kesehatan ibu, kesehatan bayi, dan menurunkan angka kematian ibu-bayi.

Namun, komitmen Presiden tersebut akan sulit terwujud apabila RKUHP segera disahkan. Sebab, pasal-pasal dalam draft terakhir RKUHP versi 15 September 2019 telah secara nyata mengesampingkan aspek kesehatan reproduksi dan kesetaraan gender, yang mana pasal-pasal tersebut masih diliputi dengan masalah overkriminalisasi (tindakan kriminalisasi yang berlebihan).

Pertama, kriminalisasi terhadap promosi alat pencegah kehamilan. RKUHP menyatakan bahwa edukasi dan promosi hanya dapat dilakukan oleh petugas yang berwenang, padahal UU 52/2009 tentang KB mengedepankan peran masyarakat dan edukasi kesehatan reproduksi dapat dilakukan oleh masyarakat, termasuk pendidik sebaya, konselor, dan relawan. Ini adalah bentuk suatu kemunduran kala masyarakat mulai terlatih dan mengetahui tentang alat kontrasepsi, RKUHP malah melakukan kriminalisasi. Dengan pasal ini, bahkan orang tua dapat dipidana apabila memberikan informasi alat pencegahan kehamilan sebagai bekal persiapan perencanaan pernikahan kepada anak.

Pasal ini tentunya akan menghambat banyak program pemerintah seperti program keluarga berencana, program edukasi kesehatan reproduksi dan program penanggulangan Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV & AIDS. Konteks NTT, melihat kondisi yang tidak proporsional antara jumlah tenaga kesehatan dan masyarakat, ditambah kondisi tiap daerah dengan tantangan infrastruktur yang belum memadai mengakibatkan masyarakat tidak mampu mengakses informasi yang diperlukan. Oleh karena itu tetap diperlukan peran masyarakat untuk membantu proses pemberian informasi dan edukasi terkait edukasi dan promosi alat pencegah kehamilan. Ibu Yuliana S. Ndolu, S.H, M.Hum akademisi UNDANA mengatakan:Realitas hari ini bahwa hubungan seks di kalangan remaja cukup tinggi. Realitas ini tidak boleh hanya dibaca menggunakan kacamata moral semata. Karena intu, pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja sangat penting. Sebagai salah satu cara untuk mencegah terjadinya pernikahan anak.”

Kedua, kriminalisasi terhadap perempuan yang melakukan penghentian kehamilan, meskipun terdapat indikasi medis atau korban perkosaan. RKUHP akan mengkriminalisasi seluruh bentuk penghentian kehamilan yang dilakukan oleh perempuan, termasuk yang berkesesuaian.Ini bertentangan dengan UU 36/2009 tentang Kesehatan dan PP 61/2014 tentang kesehatan reproduksi. Adanya pengecualian penghentian kehamilan untuk indikasi kedaruratan medis dan korban perkosaan dalam UU Kesehatan.

Sedangkan pengecualian pemidanaan dalam RKUHP hanya berlaku pada dokter yang melakukan aborsi tersebut. Hal ini jelas diskriminatif dan akan berpotensi mengkriminalisasi pasangan suami istri yang mengalami kegagalan kontrasepsi maupun remaja yang mengalami kehamilan yang tidak direncanakan (KTD) sehingga tidak bisa melanjutkan pendidikan bahkan sampai dikeluarkan dari sekolah/kampus.Dalam pasal RKUHP juga terlihat bahwa aborsi dilarang tapi di sisi lain melarang edukasi dan penyebaran informasi tentang alat pencegah kehamilan disebarluaskan. Hal tersebut dapat berdampak pada tingginya angka aborsi tidak aman. Hal lainnya adalah di zaman yang sudah maju ini informasi apa saja sangat bebas diakses oleh anak dan remaja melalui internet. Dengan adanya pembatasan informasi terkait promosi alat kontrasepsi juga dapat berakibat pada tingginya perkawinan anak. Menurut Ibu Ana Ceunfin, S.ST, M.Kes dari Ikatan Bidan Indonesia (IBI) NTT menyampaikan bahwa di NTT terdapat kesulitan dari tenaga medis untuk menjangkau sampai ke pelosok menjadi pertimbangan yang penting agar pelibatan masyarakat tetap harus dilakukan dalam upaya mengedukasi dan mensosialisasikan berbagai informasi terkait kesehatan reproduksi termasuk alat pencegahan kehamilan kepada masyarakat.

Ketiga, kriminalisasi terhadap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum. RKUHP menuliskan bahwa setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I (satu juta rupiah). Namun unsur penggelandangan tidak dijelaskan secara spesifik, sehingga dapat diinterpretasikan secara luas dan berpotensi overkriminalisasi terhadap kelompok tertentu, seperti musafir, perempuan yang pulang malam dan anak terlantar. Pasal ini tentunya juga bertentangan dengan Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara. Dengan kata lain ketentuan dalam RKUHP ini bertentangan dengan UUD 1945.

Menurut Ibu Veronika Ata, S.H., M.Hum dari Lembaga Perlindungan Anak NTT mengatakan bahwa NTT belum ada perda tentang anak jalanan. Namun memperhatikan RKUHP yang ada, ini berpotensi untuk mengkriminasasi anak anak yang berada di jalan sementara UUD 1945 pasal 34 menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Sehinga ini menjadi kontraproduktif antara RKUHP dengan UUD 1945.

Keempat, kriminalisasi terhadap setiap bentuk persetubuhan di luar ikatan perkawinan (zinah). Sebelumnya, dalam KUHP yang berlaku sekarang, kriminalisasi hanya untuk pihak yang berada dalam perkawinan, namun melalui ketentuan pasal zinah dalam RKUHP, kriminalisasi dapat dilakukan pada persetubuhan di luar perkawinan. Ketentuan tersebut merupakan delik aduan yang hanya dapat diproses atas aduan suami, istri, orang tua atau anak.

Namun delik aduan berdasarkan pengaduan orang tua ini malah di sisi lain akan dapat meningkatkan angka perkawinan anak. Sebab, dengan adanya ketentuan tersebut, perkawinan nantinya akan menjadi solusi setiap persetubuhan di luar nikah yang dilakukan oleh anak. Itu dilakukan untuk menghindari agar anak tidak dipidana. Selain itu, ketentuan pasal ini juga terlalu mencampuri ranah privat dan sosial masyarakat.

Bila negara menganggap bahwa perkawinan sah hanya karena telah tercatat melalui pencatatan sipil dan telah dilakukan sesuai dengan ketentuan agama saja maka pasangan yang hidup bersama menurut struktur adat dapat dikriminalisasi. "Dalam konteks di NTT banyak pasangan hidup bersama dan tidak dapat mencatatkan pernikahannya di Pencatatan Sipil karena beberapa kewajiban secara adat belum dipenuhi contohnya seperti mahar atau belis yang belum lunas. Karena itu menjadi tidak adil bila pasangan yang menjadi korban dari struktur adat dikriminalisasi.

Menurut Ibu Yuliana Ndolu, SH, M.Hum ketentuan tentang janji kawin, kami sepakati untuk diatur di dalam ketentuan KUHP Mengingat ketentuan tentang janji kawin  yang diatur dalam KUH Perdata Pasal 58 belum menjawab rasa keadilan perempuan yang menjadi korban ingkar janji kawin. Data dari Sanggar Suara Perempuan Kabupaten TTS menyatakan bahwa terdapat 158 kasus ingkar janji kawin yang dilakukan pada tahun 2019.

Kelima,Legitimasi persekusi dalam diskriminasi pasal pencabulan Sesama Jenis Kelamin.
Dengan adanya pasal ini dalam RKUHP dapat semakin meningkatkan diskriminasi terhadap setiap orang yang memiliki orientasi seksual yang sama. Selama ini sudah banyak terjadi tindakan persekusi dalam masyarakat terhadap anggota masyarakat lainnya yang memiliki orientasi seksual yang sama, justru dengan diadopsinya pasal ini dalam RKUHP akan berdampak pada semakin tingginya kasus  persekusi terhadap anggota masyarakat yang memiliki orientasi seksual yang sama. Pasal ini juga akan membuka celah untuk munculnya politisasi identitas,dan peraturan-peraturan intoleran yang  mementingkan kepentingan mayoritas, hal ini disampaikan oleh ibu Gadrida R. Djukana, SH. M.H dari Lembaga Lopo Belajar Gender NTT.

Keenam, potensi overkriminalisasi akibat pengadopsian hukum yang hidup dalam masyarakat. Apabila pasal ini diadopsi dalam RKUHP, maka akan menimbulkan celah praktik penegakan hukum yang sewenang-wenang karena tidak dinyatakan dalam hukum tertulis. Belum lagi pengertian living law masih sangat sumir, tidak diketahui apakah yang dimaksud adalah hukum adat, hukum yang hidup ataukah hukum yang disesuaikan dengan pengaturan penguasa setempat. Adanya pasal ini akan membuka peluang kriminalisasi terhadap perempuan dan kelompok rentan lain yang dianggap tidak berkesesuaian dengan norma setempat.

Pasal ini juga akan membuka celah untuk munculnya peraturan-peraturan intoleran dan mementingkan kepentingan mayoritas di suatu daerah. Serta berpotensi terjadinya kesewenang-wenangan. Menurut DR.Simplexius Asa,SH.M.H  Wakil Ketua Pengurus PKBI Daerah NTT yang juga merupakan akademisi UNDANA menyampaikan bahwa peraturan yang multitafsir dapat menimbulkan ketidakpastian. Dimana ada ketidak pastian di sana kemungkinan besar akan terjadi kesewenang-wenangan.

Atas dasar paparan di atas, Koalisi NTT Tunda RKUHP mendorong agar Pemerintah dan DPR mempertimbangkan kembali rencana pengesahan RKUHP yang secara nyata berpotensi menimbulkan banyak masalah baru.

Namun di sisi lain, berikut hal-hal yang dapat dilakukan Pemerintah dalam melakukan pembaharuan hukum pidana nasional adalah sebagai berikut:

Pertama, melakukan penerjemahan secara resmi terhadap KUHP yang berlaku saat ini; Kedua, mengevaluasi naskah KUHP yang telah diterjemahkan secara resmi untuk memilah ketentuan mana yang dapat diprioritaskan untuk diubah atau dihapus; dan Ketiga, berdasarkan hasil evaluasi tersebut, melakukan pembahasan revisi KUHP secara parsial terhadap ketentuan-ketentuan yang dianggap prioritas dengan melibatkan ahli-ahli pada seluruh bidang terkait termasuk ahli kesehatan dan mengadopsi pendekatan kebijakan berbasis bukti (evidence-based policy).(HM)



Baca juga