Diduga Pengerjaan Intake Pada Proyek SPAM Wae Mese II Tidak Sesuai Spek

 


 

Labuan Bajo;Jejakhukumindonesia.com,Diduga pengerjaan intake (bangunan penampung raksana untuk menarik air dari sungai, red) pada proyek Sistem Pengelolaan Air Minum (SPAM) Wae Mese II di Kota Labuan Bajo Kabupaten Manggarai Barat oleh PT. Amartha Karya (Persero) senilai Rp 144,5 Milyar  tidak sesuai spesifikasi teknis (spek). Karena tidak sesuai spek, maka diduga bangunan intake tersebut jauh dari kualitas yang diharapkan dan dapat berakibat merugikan keuangan negara.  

Demikian informasi yang dihimpun tim investigasi media ini dari sumber yang sangat layak dipercaya di lokasi proyek, pada Selasa (02/11/2021).

“Boring perpipaan dikerjakan secara manual menggunakan tenaga manusia, rancangan besi beton bangunan intake juga memiliki ukuran berfariasi, tiang penyanggah bangunan intake miring/bengkok tidak beraturan, intake dibangun di atas tanah timbunan setebal 3 hingga 4 meter. Selain itu, pasir yang dipakai juga diduga mengandung zat garam dan bercampur lumpur,” bebernya. 

Menurut sumber yang menolak namanya disebutkan itu, sesuai kontrak pengerjaan proyek, pengerjaan boring perpipaan seharusnya menggunakan teknologi alat yang menjamin K3 (Keselamatan Kesehatan Kerja), tetapi fakta pelaksaan di lapangan, boring perpipaan dilakukan secara manual menggunakan tenaga manusia, sehingga dikhawatirkan mengancam keselamatan para pekerja.

“Sebelumnya, GS (General Supervisor) PT.AMKA, pak Hendri menjanjikan untuk mendatangkan alat  boring dari Jawa. Rencananya, alat tersebut akan tiba di lokasi proyek  sekitar tanggal 3 Maret 2021 lalu. Namun, sampai saat ini alat tersebut tidak ada di lokasi proyek, sehingga mereka perintahkan kami untuk menggali saluran perpipaan itu (secara manual, red) dengan upah murah,” ungkapnya.

Sumber itu juga membeberkan, bahwa harga sewa alat boring sebagaimana tertuang dalam kontrak kerja berkisar antara sekitar Rp 200.000.000 (dua ratus juta rupiah) hingga Rp 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah). “Gali untuk pekerjaan boring pakai tenaga manusia, padahal kontrak kerja itu menggunakan alat. Itu indikasi ada niat jahat dan persekongkokolan antara rekanan (PT.AMKA) dan PPK nya, sehingga uangnya dibagi juga untuk PPK-nya,” kritiknya.

Sumber tersebut mengungkapkan pula, bahwa pengerjaan intake tersebut diduga menggunakan material pasir yang tidak sesuai spek, karena pasir tersebut mengandung zat garam dan bercampur lumpur. Material pasir tersebut, diduga didatangkan PT.AMKA dari muara pantai Nanga Nae, yaitu dari kali hidup di dusun Handel Desa Compang Longo, Kecamatan Komodo-Mangarai Barat.

“Awal pekerjaan bangunan intake tersebut, pihak konsultan pengawas telah merekomondasikan PT.AMKA untuk menggunaan pasir yang ada di Kecamatan Lembor. Namun, rekomendasi pengawas tidak diindahkan PT. AMKA, karena alasan lokasinya jauh dan harganya (harga dan biaya angkut, red) mahal,” bebernya

Seperti disaksikan tim investigasi media ini di lokasi proyek, pada bangunan intake tersebut, tampak rancangan/ayaman besi beton untuk dinding bak dan lantai rumah mesin pompa dan bak tampungan memiliki ukuran berfariasi, mulai dari 0,18 cm hingga 0,20 cm. Spesifikasi adukan atau campuran material abu beton dan pasir juga diduga tidak sesuai teknis takaran sebagaimana seharusnya. Abu beton dicampurkan dengan pasir yang diduga mengandung zat garam dan  lumpur, akibat tidak disaring dan tidak dicuci.

Pantauan tim media ini, intake  tersebut dibangun di atas tanah timbunan dengan ketebalan kurang lebih 3-4 meter. Kontruksi tiang pancang juga menggunakan borepile (jenis fondasi dengan elemen bertulang yang dimasukan kedalam lubang bor untuk memindahkan beban berat pada bangunan ke dalam tanah). Padahal, secara teknis tidak layak, karena sejak dari awal diduga metode kerjanya salah.

Tampak pula, pengerjaan proyek intake tersebut (oleh PT.AMKA, red) terkesan asal jadi, karena dua tiang penyanggah/teras depan dan kolong beton bangunan intake yang sementara dikerjakan itu miring/bengkok dan tidak beraturan. 

General Supervisor (GS) PT. AMKA, Hendri yang berhasil dikonfirmasi tim media ini melalui pesan WhatsApp/WA pada (02/11/2021), menolak memberikan klarifikasi. “Untuk saat ini biar saya fokus dipekerjaan saya dahulu,agar dapat dimaklumi,”tulisnya.

Hendri juga membantah perusahaannya (PT.AMKA, red) menggunakan pasir mengandung zat garam dan lumpur. “Saya tidak perna pesan pasir muara. Silahkan dikonfirmasi ulang ke narasumber bapak, yang memberikan informasi. Tks,” tegasnya sebagaimana dalam pesan WA-nya.

Hendri bahkan balik bertanya kepada tim media, dari siapa dan darimana sumber informasi yang mengatakan bahwa PT. AMKA menggunakan pasir yang mengadung garam dan lumpur. 

Terkait kolong dan tiang bangunan intake yang miring, Hendri mengklarifikasi bahwa yang miring itu bukan kolom tetapi opening pintu yang kurang lebar sehingga dibobok (dibengkokkan, red) untuk diperlebar kembali.

Namun, ketika ditanyai lebih lanjut soal item pekerjaan boring yang dilakukan secara manual dan tidak memperhatikan faktor keselamatan pekerja (K3,red), Hendri langsung naik pitam. Ia lalu balik bertanya kepada tim media ini, apa maksud pertanyaan tersebut. “Maksud bpk (bapak) apa ya.?” tulisnya lagi dan sesaat kemudian, langsung memblokir nomor HP wartawan tim media ini.

Sementara itu, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Pembangunan SPAM Wae Mese II, Mahmud yang dikonfirmasi tim media ini melalui pesan WA pada Rabu, (03/11/21), menolak memberikan klarifikasi. Ia juga bahkan meminta tim media mengkonfirmasi langsung ke Kepala Balai Prasarana Pemukiman Wilayah (PPW) Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Kami disini adalah satker pelaksana pak, untuk permohonan informasi dapat diperoleh dari induk kami di Balai PPW Prov.NTT, jalan Polisi Militer N0.1 Kupang. Disana ada petugas PPID (Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi) di Tata Usaha sebagai pengelola informasi dan  dokumentasi,“ tulisnya.

Seperti diberitakan sebelumnya (08/11/2021), Sistem Pengelolaan Air Minum (SPAM) Wae Mese II dan  Jaringan Perpipaan Waemese II senilai Rp 144,5 M di Kota Labuhan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, NTT diduga akan menggunakan air yang berasal dari saluran irigasi sawah dan kali Wae Mese (yang debit airnya sangat kecil di musim kermarau karena airnya dibendung untuk irigasi, red) sebagai sumber air baku. Akibatnya, sekitar 500 Ha sawah irigasi di Desa Handel dan Garong terancam kering di musim panas.

Dugaan penggunaan air irigasi sawah tersebut mendapat protes dari petani setempat yang cemas sawahnya bakal mengalami kekeringan karena air irigasi untuk sawah disedot oleh pipa berukuran 16 dim dari proyek tersebut. Apalagi di saluran irigasi tersebut, telah ada pipa berukuran 8 Dim milik PDAM setempat yang juga menyedot air baku dari irigasi tersebut.

Seperti disaksikan tim media ini, pipa berukuran 8 dim milik PDAM yang juga mengambil air baku dari irigasi tersebut hanya dapat menyedot air baku setengah dari diameter pipa tersebut.  Jika air irigasi tersebut disedot lagi dengan pipa sebesar 16 dim maka air disaluran irigasi tersebut dapat dipastikan akan mengering (karena tersedot habis, red).  Akibatnya sekitar 500 Ha sawah irigasi di 2 desa, yakni Desa Handel dan Desa Garong terancam akan mengalami kekeringan.

 

Sementara itu, air kali di sekitar Jembatan Wae Mese akan mengering di musim kemarau karena debit air kali tersebut akan ditampung seluruhnya di Bendungan Wae Mese untuk keperluan mengairi sawah irigasi di beberapa desa sekitarnya.

Sumber yang layak dipercaya dan tahu betul seluk beluk pekerjaan proyek tersebut mengatakan, jika mengikuti kontrak kerja, pembangunan Intake tersebut semestinya dibangun Di Desa Garong yaitu di Bendungan Wae Mese, yang jaraknya sekitar 1 KM dari bangunan rumah pompa dan kantor operasional PT. Amarta Karya (Amka) Persero.

Namun, lanjutnya, warga setempat menolak dengan alasan pengambilan air dari bendungan Garong dapat menyebabkan kekeringan sawah milik warga masyarakat (para petani, red) setempat.  “Saat ini, kita lihat air di kali itu banyak, karena hujan di gunung.  Tetapi kalau musim kemarau, kali ini akan kering karena semua air itu akan tertampung di bendungan, red),“ jelasnya.

Sebagai solusi, lanjutnya, Pejabat Pembuat Komiten (PPK) dan PT. Amarta Karya (Persero) selaku kontraktor pelaksana memutuskan untuk menjadikan kali mati di bawah jembatan Wae Mese II sebagai sumber pengambilan mata air baku, yang jaraknya hanya sekitar 50 meter dari bangunan rumah pompa dan kantor operasional. (jh./tim).

Baca juga